Daerahku
TULUNGAGUNG
AYEM TENTREM MULYO LAN TINOTO
Jerbasuki Mowobeyo |
Nah Ini dia, Kota kelahiranku, tanah kebanggaan ku, kabupaten Tulungagung, pasti nggak ada yang pernah denger kan tentang kabupaten Tulungagung, Kabupaten Tulungagung Terletak di Jawa Timur, tepatnya , jawa tmur bagian selatan , dihampit oleh beberapa kabupaten yang mungkin sobat pembaca tahu, yaitu kediri , blitar, ponorogo dan trenggalek.
Map Kabupaten Tulungagung |
Aku sendiri tinggal di Kecamatan Boyolangu. Kelihatan bisa saja? Kalian salah. walaupun Daerahku tidak terkenal Tapi banyak tempat wisata menarik di tempatku, yang mungkin saja kalian angap unik bila datang ke daerahku. Selain itu juga banyak peninggalan sejarah seperti candi-candi dari kerajaan majapahit lho, pingin tahu kan? ni aku kasi tahu dah.
Candi Gayatri
Candi Gayatri atau bisa juga dikenal dengan Candi Boyolangu terletak di Dukuh Dadapan, Desa Boyolangu Tulungagung Jawa Timur. Ditemukan pada tahun 1914 oleh masyarakat desa setempat. Awalnya bangunan candi Gayatri terkubur di dalam tanah, lalu digali oleh penduduk setempat karena rupanya didalam terdapat bangunan candi beserta patung-patung kuno yang masih terkubur. Candi Gayatri menurut para ahli sejarah dari BP. Trowulan merupakan candi peninggalan jaman Kerajaan Majapahit. Dibangun ketika era Raja Hayam Wuruk sebagai bentuk penghormatan dan makam Putri Gayatri yang bergelar Rajapatni istri keempat Raja Kertarajasa Jaya Wardhana (Raden Wijaya). Informasi tentang Candi Gayatri sebagai candi budha diperoleh dari Kitap Negarakertagama, yang menyebutkan terdapat candi budha di wilayah Boyolangu Tulungagung pada tahun 1369-1380 Masehi.
Candi Sanggrahan
Nah Ini ni deket banget dengan rumahku, ya sekirar 10M dari situ, hahahahaha. Deket kan , Makanya, datang kesini kalau penasaran, bagus kok dijamin dah. Candi Sanggrahan terletak di Dusun Sanggrahan, Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu. Secara umum kompleks Candi Sanggrahan terdiri atas sebuah bangunan induk dan dua buah sisa bangunan kecil lainnya. Bangunan induk menggunakan batuan andesit dengan isian bata. Bangunan induk berukuran panjang 12,60 m, lebar 9,05 m, dan tinggi 5,86 m. Bangunan ini terdiri atas empat tingkat yang masing-masing berdenah bujursangkar dengan arah hadap ke barat.
Bangunan kecil yang berada disebelah timur bangunan induk hanya tersisa bagian bawahnya saja. Di tempat ini dulu terdapat lima buah arca Budha yang masing-masing memiliki posisi mudra yang berbeda (demi keamanan arca tersebut sekarang tersimpan di rumah Juru Pelihara).
Bangunan Candi Sanggrahan berada pada teras/undakan berukuran 5,10 m x 42,50 m. Pagar penahan undakan itu adalah bata setinggi tidak kurang dari dua meter.
Para ahli sejarah menduga bahwa Candi Sanggrahan dibangun sebagai tempat peristirahatan rombongan pembawa jenazah pendeta wanita Budha kerajaan Majapahit bernama Gayatri yang bergelar Rajapadmi. Jenazah itu dibawa dari Kraton Majapahit untuk menjalani upacara pembakaran di sebuat tempat di sekitar Boyolangu. Belakangan abu jenazahnya disimpan di Candi Boyolangu. Dimungkinkan Candi Sanggrahan dibangun pada jaman Majapahit masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1359-1389 M).
Gunung Budeg Tanggung
Sekian Nggak ada yang istimewa dari gunung yang satu ini, tapi dibalik biasanya tempat yang satu ini, menyimpan sebuah cerita rakyat yang cerita tersebut telah tersebar se penjuru jawa timur. Cerita tersebut adalah cerita tentang Seorang pemuda bernama jaka yang dikutuk jadi batu yang di payungi oleh cikrak( dalam bahasa indonesia serokan sampah yang terbuat dari bambu )saat bertapa di gunung tersebut.
Penasaran kisahnya, ni aku ceritain dah. Konon menurut cerita para tetua di kabupaten Tulungagung, ada seorang Jejaka bernama Joko Budeg yang keturunan orang biasa dan Roro Kembangsore dari keluarga Ningrat. Joko Budeg sangat mendambakan Roro Kembangsore menjadi pasangan hidupnya, karena Joko Budeg mencintai Kembangsore dengan sepenuh hatinya. Tentu saja keinginan Joko Budeg yang berlebihan ini tidak mendapat tanggapan dari Kembang Sore, karena Kembangsore berpendapat bahwa Joko Budeg bukanlah pasangan yang setimpal untuk dirinya. Sebagai lelaki Joko Budeg tidak pernah surut keinginannya untuk mempersunting wanita idamannya, berbagai cara sudah dilakukan agar keinginannya bisa terwujud. Lama kelamaan hati Kembang Sore yang keras bagaikan batu, luluh oleh keseriusan Joko Budeg mendekati dirinya. Tetapi tentu saja keinginan ini tidak serta merta diterima begitu saja oleh Kembang Sore. Roro Kembangsore mau menerima lamaran Joko Budeg dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Joko Budeg.
Kembang Sore mau dipersunting oleh Joko Budeg asalkan Joko Budeg mau bertapa 40 hari 40 malam di sebuah bukit, beralaskan batu dan memakai tutup kepala “cikrak” (alat untuk membuang sampah di Tulungagung) sambil menghadap ke Lautan Kidul. Joko Budeg menerima persyaratan ini, dan melaksanakan apa yag diminta oleh Roro Kembang Sore. Setelah waktu berlalu sesuai yang dijanjikan, Roro Kembang Sore berharap Joko Budeg datang untuk memenuhi janjinya. Setelah ditunggu 1 hari 1 malam, ternyata Joko Budeg tidak muncul juga, kembang sore mulai cemas (karena sebenarnya di hati Kembang Sore juga tumbuh rasa cinta kepada Joko Budeg). Seketika itu juga Kembangsore mendatangi bukit yang digunakan untuk bertapa Joko Budeg. Sesampai disana masih Nampak Joko Budeg dengan khususnya bertapa. Kasihan melihat keaadaan itu, kembangsore membangunkan Joko Budeg dari bertapanya. Setelah cukup lama usaha Kembang Sore untuk membangunkan Joko Budeg tidak membawa hasil, akhirnya Kembang Sore jengkel, dan keluar kata-kata yang cukup keras “ditangekke kok mung jegideg wae, koyo watu” (bahasa jawa Tulungagungan, dibangunkan kok tidak bangun-bangun, kayak batu) seketika itu terjadi keajaiban alam, Joko Budeg berubah wujudnya menjadi batu. Saat ini bukit tempat Joko Budeg bertapa dikenal dengan nama “Gunung Budeg” dan patung Joko Budeg bertapa masih untuh sampai sekarang. Roro Kembang Sore, dengan penyesalan yang dalam, kembali ke kediamannya dan bersumpah tidak akan menikah dengan orang lain selain Joko Budeg. Roro Kembang Sore akhirnya bertapa di satu tempat, sampai meninggal dan dikuburkan di tepat itu. Saat ini tempat pemakaman kembang sore dikenal sebagai Pemakaman Gunung Bolo yang sangat terkenal (Di Kec. Kauman Kab. Tulungagung). Untuk mencapai lokasi ini tidaklah sulit apabila anda berada dikota Tulungagung, Jawa Timur yang dapat ditempuh selama 3 jam perjalanan darat dari Surabaya atau 2 jam dari kota Malang. Batu besar tersebut bisa disaksikan di kawasan Wajak Kidul dengan bukit tandusnya yang menyimpan jutaan kilo marmer berkualitas terbaik di Indonesia.
Menarik bukan, dari Budak cinda terus jadi batu , hahahaha, ya itulah kisah dari daerahku, datang kesini bekunjung dan saksikan banyak hal menarik yang ada disini. dari tadi menyinggung daratan mulu ni , ayok beralih ke pantai. Tulungagung juga mimiliki beberapa pantai terkenal. Simak ni.
Pantai Popoh
Pantai popoh merupakan salah satu pantai di tulungagung yang cukup terkenal, indah? jangan ditanya lagi. Pantai popoh menjadi destinasi keluarga untuk berakhir pekan di tulungagung. berjarak sekitar 35km dari pusat kota, panati popoh menyimpan sejuta keindahan bagi orang yang ingin melihat pemandangan tulungagung daerah pantai. soal tiket masuk ,tenang karena tiket masuk disini Rp.5000 sangat murah sekali, jadi sok, kalau datang ke tulungagung jangan lupa mampir kesini, nggak rugi deh dijamin.
Sebenarnya Masih banyak destinasi pantai dan destinasi yang ada di tulungagung , tapi karena keterbatasan tenaga untuk mengetik dan menjelaskan, maka itu dulu cukup, nanti ya , ditunggu di postingan selanjutnya . Salam saking arek Tulungagung
Candi Gayatri
Candi Gayatri |
Candi Sanggrahan
Candi Sanggrahan |
Nah Ini ni deket banget dengan rumahku, ya sekirar 10M dari situ, hahahahaha. Deket kan , Makanya, datang kesini kalau penasaran, bagus kok dijamin dah. Candi Sanggrahan terletak di Dusun Sanggrahan, Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu. Secara umum kompleks Candi Sanggrahan terdiri atas sebuah bangunan induk dan dua buah sisa bangunan kecil lainnya. Bangunan induk menggunakan batuan andesit dengan isian bata. Bangunan induk berukuran panjang 12,60 m, lebar 9,05 m, dan tinggi 5,86 m. Bangunan ini terdiri atas empat tingkat yang masing-masing berdenah bujursangkar dengan arah hadap ke barat.
Bangunan kecil yang berada disebelah timur bangunan induk hanya tersisa bagian bawahnya saja. Di tempat ini dulu terdapat lima buah arca Budha yang masing-masing memiliki posisi mudra yang berbeda (demi keamanan arca tersebut sekarang tersimpan di rumah Juru Pelihara).
Bangunan Candi Sanggrahan berada pada teras/undakan berukuran 5,10 m x 42,50 m. Pagar penahan undakan itu adalah bata setinggi tidak kurang dari dua meter.
Para ahli sejarah menduga bahwa Candi Sanggrahan dibangun sebagai tempat peristirahatan rombongan pembawa jenazah pendeta wanita Budha kerajaan Majapahit bernama Gayatri yang bergelar Rajapadmi. Jenazah itu dibawa dari Kraton Majapahit untuk menjalani upacara pembakaran di sebuat tempat di sekitar Boyolangu. Belakangan abu jenazahnya disimpan di Candi Boyolangu. Dimungkinkan Candi Sanggrahan dibangun pada jaman Majapahit masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1359-1389 M).
Gunung Budeg Tanggung
Gambar Gunung Budeg |
Sekian Nggak ada yang istimewa dari gunung yang satu ini, tapi dibalik biasanya tempat yang satu ini, menyimpan sebuah cerita rakyat yang cerita tersebut telah tersebar se penjuru jawa timur. Cerita tersebut adalah cerita tentang Seorang pemuda bernama jaka yang dikutuk jadi batu yang di payungi oleh cikrak( dalam bahasa indonesia serokan sampah yang terbuat dari bambu )saat bertapa di gunung tersebut.
Patung batu Joko budeg di Gunung budeg deang cikraknya yang sekarang jadi pohon |
Penasaran kisahnya, ni aku ceritain dah. Konon menurut cerita para tetua di kabupaten Tulungagung, ada seorang Jejaka bernama Joko Budeg yang keturunan orang biasa dan Roro Kembangsore dari keluarga Ningrat. Joko Budeg sangat mendambakan Roro Kembangsore menjadi pasangan hidupnya, karena Joko Budeg mencintai Kembangsore dengan sepenuh hatinya. Tentu saja keinginan Joko Budeg yang berlebihan ini tidak mendapat tanggapan dari Kembang Sore, karena Kembangsore berpendapat bahwa Joko Budeg bukanlah pasangan yang setimpal untuk dirinya. Sebagai lelaki Joko Budeg tidak pernah surut keinginannya untuk mempersunting wanita idamannya, berbagai cara sudah dilakukan agar keinginannya bisa terwujud. Lama kelamaan hati Kembang Sore yang keras bagaikan batu, luluh oleh keseriusan Joko Budeg mendekati dirinya. Tetapi tentu saja keinginan ini tidak serta merta diterima begitu saja oleh Kembang Sore. Roro Kembangsore mau menerima lamaran Joko Budeg dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Joko Budeg.
Kembang Sore mau dipersunting oleh Joko Budeg asalkan Joko Budeg mau bertapa 40 hari 40 malam di sebuah bukit, beralaskan batu dan memakai tutup kepala “cikrak” (alat untuk membuang sampah di Tulungagung) sambil menghadap ke Lautan Kidul. Joko Budeg menerima persyaratan ini, dan melaksanakan apa yag diminta oleh Roro Kembang Sore. Setelah waktu berlalu sesuai yang dijanjikan, Roro Kembang Sore berharap Joko Budeg datang untuk memenuhi janjinya. Setelah ditunggu 1 hari 1 malam, ternyata Joko Budeg tidak muncul juga, kembang sore mulai cemas (karena sebenarnya di hati Kembang Sore juga tumbuh rasa cinta kepada Joko Budeg). Seketika itu juga Kembangsore mendatangi bukit yang digunakan untuk bertapa Joko Budeg. Sesampai disana masih Nampak Joko Budeg dengan khususnya bertapa. Kasihan melihat keaadaan itu, kembangsore membangunkan Joko Budeg dari bertapanya. Setelah cukup lama usaha Kembang Sore untuk membangunkan Joko Budeg tidak membawa hasil, akhirnya Kembang Sore jengkel, dan keluar kata-kata yang cukup keras “ditangekke kok mung jegideg wae, koyo watu” (bahasa jawa Tulungagungan, dibangunkan kok tidak bangun-bangun, kayak batu) seketika itu terjadi keajaiban alam, Joko Budeg berubah wujudnya menjadi batu. Saat ini bukit tempat Joko Budeg bertapa dikenal dengan nama “Gunung Budeg” dan patung Joko Budeg bertapa masih untuh sampai sekarang. Roro Kembang Sore, dengan penyesalan yang dalam, kembali ke kediamannya dan bersumpah tidak akan menikah dengan orang lain selain Joko Budeg. Roro Kembang Sore akhirnya bertapa di satu tempat, sampai meninggal dan dikuburkan di tepat itu. Saat ini tempat pemakaman kembang sore dikenal sebagai Pemakaman Gunung Bolo yang sangat terkenal (Di Kec. Kauman Kab. Tulungagung). Untuk mencapai lokasi ini tidaklah sulit apabila anda berada dikota Tulungagung, Jawa Timur yang dapat ditempuh selama 3 jam perjalanan darat dari Surabaya atau 2 jam dari kota Malang. Batu besar tersebut bisa disaksikan di kawasan Wajak Kidul dengan bukit tandusnya yang menyimpan jutaan kilo marmer berkualitas terbaik di Indonesia.
Menarik bukan, dari Budak cinda terus jadi batu , hahahaha, ya itulah kisah dari daerahku, datang kesini bekunjung dan saksikan banyak hal menarik yang ada disini. dari tadi menyinggung daratan mulu ni , ayok beralih ke pantai. Tulungagung juga mimiliki beberapa pantai terkenal. Simak ni.
Pantai Popoh
Pantai popoh |
Pantai popoh merupakan salah satu pantai di tulungagung yang cukup terkenal, indah? jangan ditanya lagi. Pantai popoh menjadi destinasi keluarga untuk berakhir pekan di tulungagung. berjarak sekitar 35km dari pusat kota, panati popoh menyimpan sejuta keindahan bagi orang yang ingin melihat pemandangan tulungagung daerah pantai. soal tiket masuk ,tenang karena tiket masuk disini Rp.5000 sangat murah sekali, jadi sok, kalau datang ke tulungagung jangan lupa mampir kesini, nggak rugi deh dijamin.
Sebenarnya Masih banyak destinasi pantai dan destinasi yang ada di tulungagung , tapi karena keterbatasan tenaga untuk mengetik dan menjelaskan, maka itu dulu cukup, nanti ya , ditunggu di postingan selanjutnya . Salam saking arek Tulungagung
Komentar
Posting Komentar